Sabtu, 26 Januari 2013

The Real Dyah isnaeni ruslan anwar (part 1)


Aku itu seperti aku. Aku yang biasa saja karena aku tidak berharap menjadi luar biasa. Aku yang netral. Aku yang kadang hitam. Aku yang kadang putih. Aku yang tak jarang ada di abu-abu. Aku yang tidak semata semata percaya dengan kata optimis. Aku yang juga tidak semata mata harus memikirkan kata pesimis. Karena pesimis tak akrab denganku. Aku tak hangat. Tapi aku tak begitu dingin. Aku yang perasa, tapi sangat suka bercanda. Aku pemimpi. Tapi aku tak suka bermimpi terlalu tinggi. Tapi aku juga tak pernah bermimpi hal rendah. Aku yang berharap tak masuk neraka, sekaligus aku yang merasa tak pantas ada di surga. Aku yang tak berani tantangan. Aku yang selalu cari aman. Aku yang tak terbuka, tapi juga tak tertutup. Aku yang tak liar tapi juga tak terkekang. Aku yang tak pandai berkomunikasi. Aku yang sangat suka ketenangan, kesunyian, dan kesendirian. Aku yang merasa hidup lebih hidup saat menyendiri. Menyendiri bukan karena murung atau kesepian. Tapi karena aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Dan aku nyaman dengan menyendiri. Menyelami pikiranku sendiri, mengamati, berkreasi, dan berangan.


Samar-samar masih terbayang masa kecilku dulu. Aku yang ndut dan imut :D. Aku yang lahir dan tinggal di Jakarta sampai berumur kurang lebih delapan tahun. Aku kecil dulu tak begitu aktif tapi juga tak pasif. Aku punya tiga sahabat. Anis, usianya kurang lebih 2 tahun dibawahku. Vivi, gadis cina yang sepantaran denganku. Dan koko Shen Shen, anak lelaki cina tambun yang sekitar 2 tahun lebih tua dariku. Setiap hari waktu kuhabiskan untuk sekolah, main dan berakhir di rumah.

Sampai suatu hari, aku harus pindah ikut orang tua ke kampung di pojok Purworejo, Jawa Tengah. Putus sudah komunikasi dengan ketiga sahabatku itu. Aku pun mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tempat ku tinggal. Baru beberapa tahun tinggal di kampung satu per satu kabar berita datang. Berita pertama datang tahun 1997, sahabatku Anis sakit demam berdarah. Dan tutup usia di masa kanak - kanaknya. Selang beberapa tahun, koko Shen Shen menyusul meninggalkan dunia. Tinggal Vivi yang sampai sekarang tak lagi kudapati kabarnya. Terakhir kudengar, dia kuliah di Trisakti.


Masa masa SD di kampung kulewati dengan wajar. Menginjak SMP, ada sedikit yang mengganjal. Rutinitasku hanya sebatas sekolah dan rumah. Tepatnya kamar. Dan itu tak membuatku diterpa kebosanan. Tapi ketenangan dan kedamaian. Awalnya kukira karena faktor pubertas yang membuatku lebih suka menyendiri dan bermasalah untuk berkomunikasi dengan baik. Namun ternyata perilaku teman temanku yang lain tak seaneh diriku.

Aku bisa bercanda dengan teman dekat dan keluarga inti, tapi tidak dengan yang lain. Masa SMA juga begitu. Di sekolah bisa beradaptasi cukup sukses dengan beberapa teman.


Jaman kuliah makin terasa tak wajar. Bertahun tahun kuliah, bisa dihitung dengan jari, siapa saja yang dekat denganku. Itupun aku tak terlalu terbuka. Kami lebih sering bicara fiktif dan imaginatif. Aku cenderung lebih suka mendengarkan dan mengamati. Sedikit aneh memang, ada mahasiswa yang berperilaku seperti itu. Aku lebih suka mendengarkan dari pada berbicara. Kecuali jika ada hal hal yang memang benar benar menarik bagiku. Aku bisa tidak menutup mulutku selama seharian penuh :D.


Awal semester 2 sampai semester 4, terjadi bentrokan dalam diri. Separuh faktor luar mengambil alih diriku. Memaksa masuk dan menuntut untuk menjadi pribadi baru yang cerdas, luar biasa dan sempurna. Hampir dua tahun kucoba menyesuaikan dan memaksakan diri. Namun gagal. Depresi yang kudapat :D. Mungkin aku yang terlalu payah atau apa. Tapi akhirnya aku berhasil menarik kembali diriku. Tak sama dalam pemikiran bukan berarti kita tak bisa hidup berdampingan. Bukan begitu?


Di akhir semester 4, musibah terbesar dalam hidupku datang. Ayahku sakit keras. Kuliah terpaksa kuhentikan sementara. Waktu waktu sulit semakin tak terasa kulewati dalam kesendirian. Lagi lagi kesendirian. Bukan kesepian. Kesendirianlah yang menenangkanku. Pemikiran, semangat, inspirasi, impian, dan ambisi, muncul silih berganti, namun lancarnya komunikasi masih juga sulit teratasi. Tahun berganti, ayahku pun berangsur membaik. Interaksi dengan dunia luar makin menyempit. Bukan karena terkekang. Tapi karena aku nyaman menikmati kesunyian. Aku bukan tipe orang yang terbuka dengan siapa saja. Tak semua orang tahu apa semua isi kepalaku. Ibukulah salah satu orang yang kupercaya untuk menjelajah bersamaku mengarungi alur pikiranku. Karena beliau juga sama sepertiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar